singa nomor togelnya berapa

ina togel 88 - Review The Tortured Poets Department: Manuskrip Kegetiran Taylor Swift

2024-10-09 02:09:07

ina togel 88,qiu qiu jepang,ina togel 88Jakarta, CNN Indonesia--

Saya butuh waktu dan perenungan yang cukup lama untuk mencerna daftar panjang lagu dari Taylor Swiftdalam album antologi The Tortured Poets Department.

Terlepas dari kontroversi 31 lagu yang membuat sebagian orang jengah, melodi dari Jack Antonoff yang dianggap tak banyak kebaruan, hingga konten 'gelap' dari lirik-lirik Swift, saya justru merasa memang itulah tujuan album ini hadir.

Lihat Juga :
5 Fakta Album Baru Taylor Swift, The Tortured Poets Department

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Swift bukan orang baru dalam membuat hit. Mungkin dia adalah sedikit dari musisi yang sangat bisa membuat lagu catchydan bertengger di Billboard Hot 100, di radio, kafe hingga mal. Namun formula itu sangat minim saya temukan dalam album ini.

Alih-alih menemukan sejenis "it's me, hi, I'm the problem", justru pendengar akan mendapati "I was a functioning alcoholic" (Fortnight). Alih-alih "cause you know I love the players, and you love the game", orang akan menemukan "I was tame, I was gentle 'til the circus life made me mean" (Who's Afraid of Little Old Me?).

Taylor Swift merilis album terbarunya yang bertajuk The Tortured Poets Department pada 19 April 2024.Taylor Swift merilis album terbarunya yang bertajuk The Tortured Poets Department pada 19 April 2024. (dok. Taylor Swift)

Tak ada penulisan self-mockingatau menyindir mantan yang membuat orang awam ingin menuliskannya di caption Instagram, status, atau di bajunya. Yang ada hanyalah kejujuran, kerentanan, kelelahan, dan susah yang tersimpan dalam menjalani kehidupan. Dan itu sangat manusiawi.

Saya lebih merasa album ini dibuat persis seperti Swift menggarap folklore dan evermore secara spontan pada 2020. Bedanya, kala itu nyaris semua manusia di Bumi berada dalam isolasi dan tak bisa saling berinteraksi fisik, sehingga imajinasi Swift berkelana ke antah-berantah yang kemudian dibuat menjadi lagu.

Dalam situasi yang sangat berbeda dari 2020, Swift mengisolasi pikirannya sendiri dua tahun terakhir dalam osilum yang ia buat, mengekstraksi emosi dan keresahan dalam dirinya, dan mengapsulasikan dalam berbagai sajak.

Lihat Juga :
TILIKANAkankah Taylor Swift Makin Moncer dengan Tortured Poets Department?

Apalagi, selama dua tahun terakhir pula, kehidupan Swift bukan seperti manusia normal atau musisi kebanyakan. Ia bagai menjadi Michael Jackson pada dekade '80-90-an, atau The Beatles pada dekade '60-an.

Penggemar yang sudah mengikuti jejak Swift sejak 2006 pasti paham apa yang saya maksud. Saat ini sangat mudah menemukan orang yang tiba-tiba peduli dan bersemangat --minimal ikut membahas--- soal Swift. Sesuatu yang mirip pada era 1989 (2014), tapi lebih besar.

Plus, kehidupan perempuan 'budak cinta' ini begitu mirip roller coasterdengan kecepatan tinggi di jalur yang acakadut. Putus cinta dari seseorang yang sudah menemaninya dari masa terkelam di tengah sorotan orang sedunia, jelas tak akan bisa dihadapi dengan mental biasa.

"You swore that you loved me, but where were the clues? I died on the altar waitin' for the proof. You sacrificed us to the gods of your bluest days" (So Long, London).

[Gambas:Youtube]



Belum lagi menjalani percintaan rebound yang ternyata bergejolak dan intens (The Black Dog). Bukan hanya drama dengan lingkungan yang ingin ikut campur (But Daddy I Love Him, Guilty as Sin?), tetapi juga pertanyaan soal kepastian hubungan yang semula dikira adalah pelabuhan terakhir (The Tortured Poets Department, I Can Fix Him (No Really I Can)).

Itulah mengapa Swift berlari ke musik, seperti aktor yang memilih untuk berpura-pura tersenyum untuk menutupi suasana hatinya. "The professor said to write what you know, lookin' backwards might be the only way to move forward," (The Manuscript).

"I'm lonely, but I'm good. I'm bitter, but I swear I'm fine. I'll save all my romanticism for my inner life and I'll get lost on purpose. This place made me feel worthless." (I Hate It Here)

Lihat Juga :
The Tortured Poets Department Terjual 1,4 Juta Album di Hari Pertama

Di sisi lain, seperti yang pernah ia bilang dalam Miss Americana (2020), pemikiran kapanpun bisa jadi momen terakhir Swift di industri musik rupanya tetap bersemayam meski ia kini berada di golden era. Ia sadar, tak ada yang abadi di dunia ini.

"All your life, did you know you'd be picked like a rose?" (Clara Bow).

Namun di tengah segala kegetiran dan dramatisasi gelapnya kehidupan, Swift tampak dengan jelas mengalami pendewasaan dalam album ini.

Lanjut ke sebelah...

Aspek penerimaan akan takdir menyakitkan (So Long, London), memilih mereka yang menghargai (The Alchemy), merangkul inner child(So High School), profesionalitas dan mengapresiasi diri sendiri (I Can Do It With A Broken Heart), serta pulih dan bersyukur atas tindakan menyakitkan dari orang lain (thanK you aIMee), tersebar dalam sajak yang ia tulis.

Selain itu --yang bikin saya makin kagum-- ia mampu menulis semua emosi kompleks manusia itu dengan sajak metaforis yang sederhana, tapi memiliki makna yang dalam, indah, dan menggetarkan bila dicermati secara seksama. Kelihaian linguistik Swift dalam permainan bahasa dan diksi bahasa Inggris jelas sangat terlihat.

Lihat Juga :
Debut Tortured Poets Terbesar dalam Sejarah Spotify dan Apple Music

Sajak-sajak tersebut kemudian dibungkus dalam melodi yang digarap oleh Jack Antonoff dan Aaron Dessner, yang secara garis besar membagi The Tortured Poets Department menjadi dua kutub, seperti yang dilakukan Swift dalam Midnights (2022).

Dalam The Tortured Poets Department, Antonoff banyak menggunakan instrumen synthesizer dan elektrik ala '80-an seperti biasanya, sedangkan Dessner memakai instrumen klasik dan akustik.

Pembagian keduanya pun membelah album ini menjadi dua mood. Bila diperhatikan, Antonoff banyak menggarap lagu-lagu yang penuh dengan roller coaster mood, mulai dari dramatis hingga extravaganza, yang juga menggambarkan dramatisasi sajak-sajaknya.

Lagu bagian Antonoff yang menampilkan dengan baik dramatisasi tersebut adalah saat Swift berduet dengan Florence and The Machine dalam Florida!!!. Lagu ini juga sekaligus bagai mewujudkan mimpi penggemar merasakan Swift versi rock.

In this handout photo courtesy of The Recording Academy, (L-R) Aaron Dessner, Taylor Swift and Jack Antonoff attend the 63rd Annual Grammy Awards at Los Angeles Convention Center in Los Angeles on March 14, 2021. (Photo by Kevin Mazur / The Recording Academy / AFP) / RESTRICTED TO EDITORIAL USE - MANDATORY CREDIT Taylor Swift bersama dua sahabat sekaligus ko-produsernya dalam folklore dan evermore (2020) serta Midnights (2022) dan The Tortured Poets Department (2024): Aaron Dessner (kiri) dan Jack Antonoff (kanan). (AFP/KEVIN MAZUR)

Sementara Dessner lebih terasa sederhana, melankolis, dewasa, nostalgia, dan sentimental. Permainan piano Dessner dan sentuhan konsep orkestra dalam sejumlah lagu seperti dalam So Long, London, menumbuhkan sajian yang berbeda dari karya Antonoff.

Sentuhan Dessner yang menyenangkan dalam album ini bagi saya adalah So High School yang kembali mengangkat pop-grungeala dekade '90-an. Sekilas, drum dan gitar di So High School membuat saya mengenang lagu I Don't Want to Wait (1996) dari Paula Cole di serial Dawson's Creek.

Namun memang, eksplorasi tanpa rem yang dilakukan trio sahabat tersebut membuat album ini bagai kuliah 6 sks yang harus dipahami dalam waktu singkat. Berat dan melelahkan.

[Gambas:Youtube]



Selain daripada jumlah lagunya yang jauh di atas kebanyakan album saat ini, materinya juga gelap yang mungkin memengaruhi psikis pendengar. Sedangkan bagi penggemar --misalnya saya-- referensi lagu-lagu ini bagai ujian nasional tiga mata pelajaran yang harus dipecahkan dalam dua jam pengerjaan.

Meski begitu, saya tidak sepakat Taylor Swift butuh editor untuk album ini.

Selain daripada tidak ada yang paham materinya selain Swift, album ini adalah curahan hatinya dan mungkin sebagai penutup segala hal yang terjadi sebelum dan saat The Eras Tour berjalan, sehingga ia bisa membuka era baru dengan kisah dan perjalanan yang semoga lebih baik di masa depan.

"The only thing that's left is the manuscript. One last souvenir from my trip to your shores. Now and then I reread the manuscript, but the story isn't mine anymore." (The Manuscript)

Top 15 lagu The Tortured Poets Department pilihan Endro Priherdityo:

  1. So Long, London
  2. Florida!!! (featuring Florence and the Machine)
  3. My Boy Only Breaks His Favorite Toys
  4. Fortnight (featuring Post Malone)
  5. I Can Do It With a Broken Heart
  6. The Tortured Poets Department
  7. Who's Afraid of Little Old Me?
  8. Guilty as Sin?
  9. But Daddy I Love Him
  10. So High School
  11. ThanK you aIMee
  12. The Black Dog
  13. Down Bad
  14. Clara Bow
  15. Cassandra